Source: Kaskus |
Pernahkah anda melihat bagaimana Gajah dibatasi geraknya? Bukan dengan rantai besi berukuran besar, bukan pula kendang berduri, melainkan hanya seutas tali. Bagaimana bisa? Pengalaman si Gajah-lah yang menjadikannya takluk hanya dengan seutas tali kecil yang diikat pada tiang yang juga kecil.
Menurut penelitian ilmiah modern, Gajah merupakan hewan yang memiliki ingatan yang kuat lagi cerdas. Akan tetapi, kelebihan yang dimiliki oleh Gajah tersebut justru dimanfaatkan oleh pawang Gajah untuk menjinakannya, menjatuhkan mentalnya.
Semenjak Gajah kecil, agak si Gajah tidak lari, sang pawang mengikatnya dengan seutas tali pada sebuah tiang. Dengan tubuh dan tenaganya yang masih kecil, si Gajah tentu belum bisa terlepas dari tali itu. Bahkan sang pawang sekali waktu sengaja membuat si Gajah memberontak, tujuannya agar si Gajah tahu bahwa ia tidak bisa lepas dari jeratan tali.
Energi yang masih terbatas, fisik yang masih mungil, si Gajah terus mencoba melepaskan diri dari tali yang mengikatnya, namun tetap saja tidak bisa. Saat si Gajah terus mencoba, saat itu pula otak (ingatan) merekam bahwa sampai kapanpun si Gajah mencoba lepas dari tali, ia tidak akan pernah berhasil.
Bertahun-tahun berlalu, tubuh Gajah kian besar, energinya pun semakin membuncah. Tapi tidak dengan ingatannya, rekaman ketidakmampuan melepaskan dari tali itu tetap melekat. Lihatlah, si Gajah, hewan cerdas dengan tubuh super, takluk dengan seutas tali.
Jangan Jadi Orang Tua Layaknya Pawang Gajah
Berpijak dari kisah di atas, pendidikan yang dialami Anak-Anak kita, atau bahkan kita sendiri tidak jauh beda dengan Gajah dan pawangnya. Sebuah permisalan sederhana, ada seorang Anak yang ingin menjadi seorang pengusaha. Baru pada tahap si Anak mengutarakan keinginannya, orang tua sudah memberikan sugesti negatif, menakut-nakuti.
“Jadi pengusaha itu tidak gampang. Ayah tahu kemampuanmu, kamu tidak akan bisa,” kata Si Ayah. “Sekolah dulu yang benar, jangan aneh-aneh deh, pakek ingin jadi pengusaha segala.” imbuh Si Ibu. “Jadi pengusaha itu resikonya besar loh, salah langkah sedikit bisa rugi, gagal total.” terang Ayah sebagai pelengkap.
Baca juga: Membeli Keringan Guru Yang Tiada Ternilai
Coba kita bayangkan, seandainya kita menjadi si Anak itu, betapa jatuhnya mental kita di hadapan orang tua, dan disebabkan oleh orang tua itu sendiri. Akan sangat berbahaya apabila si Anak menjumpai suasana-suasana serupa di kemudian hari. Bisa saja, si Anak akan menjadi seperti Gajah. Rasa percaya diri akan hilang, berganti pesimis, meski sebenarnya ia mampu.
Alhasil, di masa depan, dia tidak akan pernah lagi mencoba menjadi pengusaha, akibat sugesti negatif dari orang tuanya. Padahal, bisa saja keinginan menjadi pengusaha merupakan anugerah sekaligus petunjuk bahwa Tuhan memang menginginkan ia menjadi pengusaha. Bahkan mungkin, jutaan potensi yang dimilikinya ikut menciut. Sayang sekali.
Mungkin niatnya baik, agar si Anak fokus belajar dahulu. Tetapi, hal yang dilakukan sangatlah tidak tepat.
Padahal, orang tua bisa memupuk rasa optimisme Anak. Dimulai dengar merespon positif keinginan si Anak, ajak diskusi, pancing agar dia menjelaskan konsep dan analisis bisnis apa yang hendak didirikan, dan jika ada kekurangan orang tua bisa memberikan alternatif pemecahan masalah.
Mengajak Anak Menemukan Potensi Dirinya
Mari kita rasakan, betapa indahnya seandainya orang tua menjadi sahabat dan teman diskusi yang asyik dan solutif bagi Anaknya. Si Anak akan merasa dihargai, rasa optimisnya akan tumbuh, gambaran akan masa depan semakin terukir jelas di benaknya. Meski toh seandainya orang tua tidak langsung menyetujui bisnis yang dikonsep si Anak dengan beberapa alasan, si Anak akan tetap percaya diri, dan tetap berusaha mematangkan analisa bisnis agar keinginannya disetujui.
Baca Juga: Menghafal Al-Quran Kurang Dari Dua Tahun? Bisa, Ini Metode Ustadz Adi Hidayat
Mari kita merenung. Apakah kita sudah menjadi orang tuanya manusia? Yang menumbuhkan rasa percaya diri dan optimis kepada Anak kita. Menjadi sosok orang tua yang mampu melihat potensi dan kemampuan Anak, serta mengarahkannya kesana agar hasilnya maksimal.
Ataukah kita justru menjadi pawang Gajah bagi Anak-Anak kita? Yang menjatuhkan mental, mengkerdilkan potensi, dan menenggelamkan kemampuan si Anak yang istimewa. Menjadi sosok orang tua yang menakutkan lagi otoriter, yang membatasi ruang gerak si Anak tanpa alasan-alasan logis yang bisa diterima.
Marilah kita menjadi orang tua yang baik lagi bijak bagi putra-putri kita. Mereka bukan kita, mereka adalah mereka, dan mereka punya jalan hidup masing-masing. Tugas kita, bukan mengarahkan mereka sesuai dengan keinginan kita. Akan tetapi, mendidik sepenuh hati dan membimbing mereka agar menemukan jalan yang diiginkan (anugerah) Tuhan.
----------------------
Ditulis oleh. Rozak Al-Maftuhin, S.Pd.I
Penulis dan Pemerhati Pendidikan Anak
Post a Comment for "Mendidik Anak Sebagai Orang Tua Manusia, Bukan Pawang Gajah"
Komentar yang anda kirim akan dimoderasi guna menghindari Spam. Terima kasih telah berkunjung.