Suatu hari saya pernah membaca sebuah kutipan dari Bunda Teresa, “Jika kau ingin mengubah dunia, pulanglah ke rumah dan cintai keluargamu!”
Bagi saya, kalimat itu punya makna yang begitu dalam. Jika kita renungkan, banyak orang dengan mimpi-mimpi besar ingin melakukan hal-hal besar dalam hdiupnya, namun di saat bersamaan justru lupa pada hal kecil di sekelilingnya.
Sudah banyak contoh ‘orang besar’ yang hancur karena permasalahan kecil dalam hidupnya. Selebritas papan atas yang terjun bebas karirnya gara-gara perselingkuhan, pejabat yang hancur reputasinya karena ulah anak-anaknya, pengusaha sukses yang bangkrut sebangkrut-bangkrutnya karena konflik keluarga. Begitu banyak orang yang ingin berlari cepat, tetapi lupa kerikil di sepatunya.
Suatu ketika saya pulang ke rumah dalam keadaan capek karena kesibukan di luar. Waktu itu banyak project besar yang sedang saya tangani. Sesampainya di rumah, istri mengomentari saya yang terlalu sibuk di luar, tak punya banyak waktu untuk anak-anak, dan seterusnya.
Dengan ego seorang laki-laki, saya tersinggung dengan ‘kritik’ istri saya itu. Saya katakan kepadanya, “Aku melakukan semua ini untuk keluarga, untuk kita, untuk anak-anak! Tolong kamu mengerti dan memberi pengertian pada anak-anak. Aku sibuk!”
Setelah itu, kami bertengkar. Saya merasa istri saya tak mengerti betapa berat perjuangan yang sedang saya lakukan. Tetapi, di saat bersamaan, saya jadi bertanya, benarkah semua itu untuk mereka?
Beberapa hari setelah kejadian itu saya bertemu mentor saya. Kami mengobrol tentang banyak hal, termasuk tentang keluarga. Katanya, “Sesibuk apapun kita, keluarga harus jadi yang utama. Jika mereka meminta sesuatu, yang lain harus jadi kurang penting dibandingkan dengan permintaan itu. Itulah yang akan membuatmu menjadi orang besar, yang akan membuatmu sukses, yang akan membuatmu bahagia.”
Mendengar nasihat itu, saya termenung lama. Merasa bersalah, tentu saja. Namun, kita memang seringkali harus diberitahu orang lain untuk mengerti. Saya jadi ingat buku-buku yang saya baca, video-video yang saya saksikan, percakapan-percakapan yang pernah saya miliki.
Betapa banyak orang besar menyesal telah mengorbankan keluarga mereka, betapa banyak miliarder yang ingin menukar lagi kekayaan mereka dengan kebahagiaan keluarga yang terlanjur terkorbankan, betapa banyak orang sukses yang merasa tak bahagia karena hidupnya tak dilengkapi kebahagiaan bersama suami, istri, atau anak-anaknya.
Dalam sebuah wawancara, orang terkaya nomor satu di China, Jack Ma, pernah berkata,
“Kalau ada yang saya sesali dari semua ini, dari keberhasilan saya yang dipuji banyak orang, adalah waktu saya bersama keluarga. Saya kehilangan banyak hal tentang semua itu. Dan ketika saya sadar, segalanya terasa sudah terlambat.”
Setelah semua itu, saya pulang ke rumah sebagai ksatria yang kalah perang. Saya berjalan terhuyung dengan segala rasa bersalah yang ada, Tetapi, ajaibnya, di rumah, istri saya menyambut dengan senyum yang luar biasa. Anak-anak berlari menghambur memberi pelukan. Mereka ternyata merindukan saya. Mereka ingin saya ada di tengah-tengah mereka… Cukup kehadiran itu membuat mereka bahagia. Bukan uang yang banyak, harta yang berlimpah, atau gemerlap reputasi saya di luar rumah.
Sejak saat itu, saya punya rumus sederhana: Apapun menjadi tidak penting jika keluarga meminta saya untuk datang, jika istri meminta saya untuk pulang, jika anak-anak ingin waktu bersama saya.
Di awal, kadang-kadang agak canggung. Teman-teman menganggap saya ‘suami takut istri’ karena harus pulang ketika istri memanggil. Atau kadang-kadang, saya ajak anak-anak ketika ada meeting penting dan setelah semuanya selesai segera pamit duluan untuk main bersama mereka. Mereka pikir saya akan banyak terganggu dengan semua itu, mereka mengira saya akan banyak terhambat.
Tetapi ternyata tidak. Semua baik-baik saja selama kita bisa menjadi seorang profesional yang bertanggung jawab. Bahkan lebih baik karena kita bekerja, mengejar prestasi, berusaha menaklukkan dunia, tanpa mengorbankan orang-orang tercinta di sekeliling kita.
Melalui tulisan ini, saya ingin berbagi sesuatu yang sederhana. Bagi saya, kita tetap bisa bersinar, berprestasi, melakukan yang terbaik untuk pencapaian individu, memberi yang terbaik untuk dunia, tetapi tak perlu mengorbankan keluarga. Justru sebaliknya, dengan memuliakan dan membahagiakan mereka, segalanya akan terlihat lebih baik, cakrawala akan terbuka lebih luas, dan kita bisa mengubah dunia dengan lebih tenang.
Semoga belum terlambat, ada saatnya kita berjuang, tetapi kita selalu perlu rumah untuk pulang. Sementara kekasih kita mungkin butuh hal-hal sederhana, semacam pelukan, kecupan di kening, atau waktu bersama untuk mengobrol hal-hal tidak penting. Dunia mungkin menjanjikan banyak hal untuk kita, kesempatan bisa jadi seolah tak akan datang dua kali… Namun, masa kecil anak-anak juga tak akan terulang, bukan?
Kini, barangkali inilah saatnya, jika kau ingin mengubah dunia, mungkin memang kau harus memulainya dengan pulang ke rumah dan mencintai keluargamu. Setelah itu, dunia akan berada dalam genggamanmu. Percaya atau tidak…
Jika istri memanggil, pulanglah!
Salam baik.
Fahd Pahdepie
------------------
Sumber Artikel: Fanspage Fahd Pahdepie
Laman Penulis: Fahd Pahdepie
Post a Comment for "Wahai Suami, Jika Istrimu Memanggil, Pulanglah!"
Komentar yang anda kirim akan dimoderasi guna menghindari Spam. Terima kasih telah berkunjung.